Latest Updates

Perkawinan pada Masyarakat Betawi

Pendahuluan

Ciri pokok yang membedakan antara etnik Betawi dengan kelompok etnik yang lain adalah kebudayaannya. Hal ini menyangkut beberapa aspek berupa: bahasa, religi dan kosmologi, upacara sepanjang lingkar kehidupan, dan kesenian.

Untuk megetahui lebih jauh tentang ciri khas etnik Betawi, maka dalam makalah ini akan digambarkan salah satu dari upacara lingkar kehidupan berupa upacara perkawinan. Upacara perkawinan dalam masyarakat Betawi merupakan salah satu siklus kehidupan yang sangat penting. Namun sebelum kita membahas lebih jauh tentang upacara perkawinan ini, lebih baik jika kita melihat terlebih dahulu tentang hal-hal yang sering dilakukan atau ada dalam upacara lingkar kehidupan.

Biasanya suatu keluarga dapat melakukan upacara yang kalau kecil sifatnya disebut sedekah, tetapi kalau upacara itu cukup besar biasanya disebut pesta atau hajatan besar.[2] Besar kecilnya upacara terutama ditentukan oleh kejadian-kejadian yang dianggap penting dalam lingkar kehidupan individu dan juga ditentukan oelh kemampuan si empunya hajat. Hajatan yang sifatnya kecil dilakukan sesederhana mungkin, asalkan dapat memenuhi syarat yang harus dipenuhi dalam upacaranya.

Termasuk dalam upacara adalah pembuatan makanan untuk sesaji dan pembakaran kemenyan disertai dengan pembacaan doa. Dalam hal ini doa biasanya dilakukan dalam 2 bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa setempat. Doa dalam bahasa Arab dipetik dari ayat-ayat suci Alquran, sedangkan mantra yang diucapkan dalam bahasa setempat ditujukan pada roh-roh nenek moyang atau roh-roh penjaga. Supaya doa itu terkabul, harus ada orang yang menjadi saksi terlaksanya upacara tersebut yaitu para undangan, terutama laki-laki dewasa. Yang tidak boleh ditinggalkan adalah keluarga batih, tetangga, dan kemudian tokoh-tokoh agama setempat.[3]

Upacara dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu ritus dalam lingkungan kehidupan yang dianggap penting. Dalam tradisi yang mencakup adat-istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, terdapat pula tata cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pasangan calon pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sehingga perkawinan ini mendapat pengabsahan di masyarakat. Seluruh tata cara dan rangkaian adat-istiadat perkawinan tersebut terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan.

Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dibakukan untuk menandai peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi dengan tata rias wajah, sanggul serta tata rias busana yang lengkap dengan berbagai kelengkaan adat istiadat sebelum dan sesudah perkawinan.

Tujuan perkawinan tersebut menurut masyarakat dan budaya Betawi adalah memenuhi kewajiban mulia yang diwajibkan kepada setiap warga masyarakat yang sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritas beragama Islam yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah bagi umat, sehingga dipandang sebagai suau perintah agama untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan ciptan Tuhan yang mulia.

Alasan keagamaan yang dijelaskan di atas menyebabkan orang Betawi beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan adat perkawinan tersebut diberi nilai tradisi yang disakralkan sehingga harus dipenuhi dengan sepenuh hati oleh warga masyarakat dari generasi ke generasi.

Tahapan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Betawi

1. Ngedelengin

Untuk sampai ke jenjang perkawinan, sepasang muda-mudi (sekarang) biasanya melalui tingkat pacaran yang disebut berukan. Masa ini dapat diketahui oleh orangtua kedua belah pihak, tetapi tidak asing kalau orangtua kedua belah pihak tidak mengetahui anaknya sedang pacaran.

Sistem perkawinan pada masyarakat Betawi pada dasarnya mengikuti hukum Islam, kepada siapa mereka boleh atau dilarang mengadakan hubungan perkawinan. Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman hidup mereka sendiri. Karena kesempatan untuk bertemu dengan calon kawan hidup itu tidak terbatas dalam desanya, maka banyak perkawinan pemuda pemudi desa terjadi tersebut dengan orang dari lain desa. Namun demikian, persetujuan orangtua kedua belah pihak sangat penting, karena orangtualah yang akan membantu terlaksanakannya perkawinan tersebut.

Biasanya prosedur yang ditempuh sebelum terlaksananya perkawinan adalah dengan perkenalan langsung antara pemuda dan pemudi. Bila sudah ada kecocokan, orangtua pemuda lalu melamar ke orangtua si gadis[4]. Masa perkenalan antara pria dan wanita pada budaya Betawi zaman dulu tidak berlangsung begitu saja atau terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, diperlukan Mak Comblang seperti Encing atau Encang (Paman dan bibi) yang akan mengenalkan kedua belah pihak.

Istilah lain yang juga dikenal dalam masa perkenalan sebelum perkawinan dalam adat Betawi adalah ngedelengin. Dulu, di daerah tertentu ada kebiasaan menggantungkan sepasang ikan bandeng di depan rumah seorang gadis bila si gadis ada yang naksir. Pekerjaan menggantung ikan bandeng ini dilakukan oleh Mak Comblang atas permintaan orangtua si pemuda. Hal ini merupakan awal dari tugas dan pekerjaan ngedelengin.

Ngedelengin bisa dilakukan siapa saja termasuk si jejaka sendiri. Pada sebuah keriaan atau pesta perkawinan biasanya ada malem mangkat. Keriaan seperti ini melibatkan partisipasi pemuda. Di sinilah ajang tempat bertemu dan saling kenalan antara pemuda dan pemudi.Ngedelengin juga bisa dilakukan oleh orangtua walaupun hanya pada tahap awalnya saja.

Setelah menemukan calon yang disukai, kemudian Mak Comblang mengunjungi rumah si gadis. Setelah melalui obrolan dengan orangtua si gadis, kemudian Mak Comblang memberikan uangsembe (angpaw) kepada si gadis. Kemudian setelah ada kecocokan, sampailah pada penentuanngelamar. Pada saat itu Mak Comblang menjadi juru bicara perihal kapan dan apa saja yang akan menjadi bawaan ngelamar.

2. Nglamar

Bagi orang Betawi, ngelamar adalah pernyataan dan permintaan resmi dari pihak keluarga laki-laki (calon tuan mantu) untuk melamar wanita (calon none mantu) kepada pihak keluarga wanita. Ketika itu juga keluarga pihak laki-laki mendapat jawaban persetujuan atau penolakan atas maksud tersebut. Pada saat melamar itu, ditentukan pula persyaratan untuk menikah, di antaranya mempelai wanita harus sudah tamat membaca Al Quran. Yang harus dipersiapkan dalam ngelamar ini adalah:

Sirih lamaranPisang rajaRoti tawarHadiah PelengkapPara utusan  yang tediri atas: Mak Comblang, Dua pasang wakil orang tua dari calon tuan mantu terdiri dari  sepasang wakil  keluarga ibu dan bapak. 

3. Bawa tande putus

Tanda putus bisa berupa apa saja. Tetapi biasanya pelamar memberikan bentuk cincin belah rotan sebagai tanda putus. Tande putus artinya bahwa none calon mantu telah terikat dan tidak lagi dapat diganggu gugat oleh pihak lain walaupun pelaksanaan tande putus dilakukan jauh sebelum pelaksanaan acara akad nikah.

Masyarakat Betawi biasanya melaksanakan acara ngelamar pada hari Rabu dan acara bawa tande putus dilakukan hari yang sama seminggu sesudahnya. Pada acara ini utusan yang datang menemui keluarga calon none mantu adalah orang-orang dari keluarga yang sudah ditunjuk dan diberi kepercayaan. Pada acara ini dbicarakan:

apa cingkrem (mahar) yang dimintanilai uang yang diperlukan untuk resepsi pernikahanapa kekudang yang dimintapelangke atau pelangkah kalau ada abang atau empok yanng dilangkahiberapa lama pesta dilaksanakanberapa perangkat pakaian upacara perkawinan yang digunakan calon none mantu pada acara resepsisiapa dan berapa banyak undangan.

4. Akad Nikah

Sebelum diadakan akad nikah, terlebih dahulu harus dilakukan rangkaian pra-akad nikah yang terdiri dari:

Masa dipiare, yaitu masa calon none mantu dipelihara oleh tukang piara atau tukang rias. Masa piara ini dimaksudkan untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon none mantu untuk menghadapi hari akad nikah nanti.Acara mandiin calon pengatin wanita yang dilakukan sehari sebelum akad nikah. Biasanya, sebelum acara siraman dimulai, mempelai wanita dipingit dulu selama sebulan oleh dukun manten atau tukang kembang. Pada masa pingitan itu, mempelai wanita akan dilulur dan berpuasa selama seminggu agar  pernikahannya kelak berjalan lancar.Acare tangas atau acara kum. Acara ini identik dengan mandi uap yang tujuanya untuk membersihkan bekas-bekas atau sisa-sisa lulur yang  masih tertinggal. Pada prosesi itu, mempelai wanita duduk di atas bangku yang di bawahnya terdapat air godokan rempah-rempah atau akar pohon Betawi. Hal tersebut dilakukan selama 30 menit sampai mempelai wanita mengeluarkan keringat yang memiliki wangi rempah, dan wajahnya pun menjadi lebih cantik dari biasanya.Acara ngerik atau malem pacar. Dilakukan prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan menggunakan uang logam yang diapit lalu digunting. Selanjutnya melakukan malam pacar, di mana mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.

Setelah rangkaian tersebut dilaksanakan, masuklah pada pelaksanaan akad nikah. Pada saat ini, calon tuan mantu berangkat menunju rumah calon none mantu dengan membawa rombongannya yang disebut rudat. Pada prosesi akad nikah, mempelai pria dan keluarganya mendatangi kediaman mempelai wanita dengan menggunakan andong atau delman hias. Kedatangan mempelai pria dan keluarganya tersebut ditandai dengan petasan sebagai sambutan atas kedatangan mereka. Barang yang dibawa pada akad nikah tersebut antara lain:

sirih nanas lamaransirih nanas hiasanmas kawinminiatur masjid yang berisi uang belanjasepasang roti buayasie atau kotak berornamen Cina untuk tempat sayur dan telor asinjung atau perahu cina yang menggambarkan arungan bahtera rumah tanggahadiah pelengkapkue pengantenkekudang artinya suatu barang atau makanan atau apa saja yang sangat disenangi oleh none calon mantu sejak kecil sampai dewasa.

Pada prosesi ini mempelai pria tidak boleh sembarangan memasuki kediaman mempelai wanita. Maka, kedua belah pihak memiliki jagoan-jagoan untuk bertanding, yang dalam upacara adat dinamakan “Buka Palang Pintu”. Pada prosesi tersebut, terjadi dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Al Quran. Semua itu merupakan syarat di mana akhirnya mempelai pria diperbolehkan masuk untuk menemui orang tua mempelai wanita.

Pada saat akad nikah, mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan sepasang burung Hong. Kemudian pada dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit yang menandakan bahwa ia masih gadis saat menikah.

Sementara itu, mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, hem, jas, serta kopiah, ditambah baju gamis berupa jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, baju gamis, dan selendang yang memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menjadi tanda haraan agar rumah tangga selalu rukun dan damai[5].

Setelah upacara pemberian seserahan dan akad nikah, mempelai pria membuka cadar yang menutupi wajah pengantin wanita untuk memastikan apakah benar pengantin tersebut adalah dambaan hatinya atau wanita pilihannya. Kemudian mempelai wanita mencium tangan mempelai pria. Selanjutnya, keduanya diperbolehkan duduk bersanding di pelaminan (puade). Pada saat inilah dimulai rangkaian acara yang dkenal dengan acara kebesaran. Adapun upacara tersebut ditandai dengan tarian kembang Jakarta untuk menghibur kedua mempelai, lalu disusul dengan pembacaan doa yang berisi wejangan untuk kedua mempelai dan keluarga kedua belah pihak yang tengah berbahagia.

5. Acare Negor

Sehari setelah akad nikah, Tuan Penganten diperbolehkan nginep di rumah None Penganten. Meskipun nginep, Tuan Penganten tidak diperbolehkan untuk kumpul sebagaimana layaknya suami-istri. None penganten harus mampu memperthankan kesuciannya selama mungkin. Bahkan untuk melayani berbicara pun, None penganten harus menjaga gengsi dan jual mahal. Meski begitu, kewajibannya sebagai istri harus dijalankan dengan baik seperti melayani suami untuk makan, minum, dan menyiapkan peralatan mandi.

Untuk menghadapi sikap none penganten tersebut, tuan penganten menggunakan strategi yaitu dengan mengungkapkan kata-kata yang indah dan juga memberikan uang tegor. Uang tegor ini diberikan tidak secara langsung tetapi diselipkan atau diletakkan di bawah taplak meja atau di bawah tatakan gelas.

6. Pulang Tige Ari

Acara ini berlangsung setelah tuan raje muda bermalam beberapa hari di rumah none penganten. Di antara mereka telah terjalin komunikasi yang harmonis. Sebagai tanda kegembiraan dari orangtua Tuan Raje Mude bahwa anaknya memperoleh seorang gadis yang terpelihara kesuciannya, maka keluarga tuan raje mude akan mengirimkan bahan-bahan pembuat lakse penganten kepada keluarga none mantu.

Adat Menetap setelah Menikah

Dalam msyarakat dan kebudayaan Betawi, adat tidak menentukan di lingkungan mana pengantin baru itu harus tinggal menetap. Pengantin baru diberi kebebasan memilih di mana mereka akan menetap. Walaupun pada masyarakat dan kebudayaan Betawi berlaku pola menetap yang ambilokal atau utrolokal, tetapi ada kecenderungan pada pola menetap yamg matrilokal atau  unorilokal.

Arti dan Fungsi Perkawinan pada Masyarakat Betawi.

Perkawinan bagi banyak masyarakat dianggap sangat penting. Perkawinan dipandang sebagai peristiwa sosial dan agama. Perkawinan bukan saja bermakna sebagai peralihan dari masa lajang ke kehidupan berumah tangga tetapi juga dipandang sebagai pemenuhan kewajiban agama. Di samping itu, perkawinan juga dipandang sebagai suatu wadah untuk menunjukkan gengsi kemasyarakatan.

Ada beberapa fungsi dari upacara daur hidup antara lain:

fungsi religius, yaitu meredam kekhawatiran akan adanya malapetaka yang akan menimpa suatu masyarakat tertentu apabila tidak melaksanakan upacara daur hidup.fungsi sosial, yaitu sebagai aktivitas untuk menumbuhkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat dan juga sebagai kontrol sosial.fungsi kepariwisataan, yaitu strategi untuk menarik wisatawan yang dapat menghasilkan modal wisata

Terdapat pula nilai-nilai yang terkandung dalam daur hidup suatu kebudayaan tertentu, antara lain:

Nilai kegotongroyongannilai musyawarah

Kesimpulan

Perkawinan dalam masyarakat Betawi merupakan salah satu daur hidup yang sangat penting. Dalam pelaksanannya, rangkaian upacara perkawinan tersebut tak terlepas dari adat-istiadat yang berlaku dan masih dipegang teguh oleh masyarakat Betawi. Dalam rangkaian upacara perkawinan Betawi, ada beberapa langkah yang harus dihadapi oleh calon penganten yang antara lain: ngedelengin, ngelamar, bawa tanda putus, akad nikah, kebesaran, negor, danpulang tige ari.

Perkawinan itu sendiri sebagai bagian dari daur hidup mempunyai beberapa fungsi yang antara lain adalah: fungsi religius, sosial, dan kepariwisataan. Selain memiliki fungsi, perkawinan juga mempunyai nilai-nilai tertentu yaitu nilai kegotongroyongan dan musyawarah.

Daftar Pustaka

Probonegoro, Ninuk Kleden, 1996. Teater lenong Betawi: studi perbandingan diakronik. Jakarta: Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Saidi, Ridwan, 2000. Siklus Betawi upacara dan adat istiadat. Jakarta: Lembaga kebudayaan Betawi.

Yunus, Ahmad, et al., 1993. Arti dan fungsi upacara tradisional daur hidup pada masyarakat Betawi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://anakbetawi.blogdrive.com/achive/3.html http://www.pernikahan.com/rubrik.html?news_id=305

Surat Kabar

Republika, 22 November 2004

[1] Dinna Safitri dan Ester Rina merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI yang telah menyelesaikan studinya pada tahun 2006.

[2] Probonegoro, Ninuk Kleden. Teater lenong Betawi : studi perbandingan diakronik, (Jakarta: Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1996), hal.129

[3] Ibid. hal. 129

[4] http://anakbetawi.blogdrive.com/achive/3.html

[5] http://www.pernikahan.com/rubrik.html?news_id=305

Oleh: Dinna Safitri, Ester Rina[1], dan Nurbaity

Sumber: http://belajarsejarah.com/?pilih=semuanya&kode=1&id=27


View the original article here

0 Response to "Perkawinan pada Masyarakat Betawi"