Latest Updates

Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik
tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang
dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa.

Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan
kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi
kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun,
desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari
kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi
geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.

Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan
pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari
keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung
kompleksitas persoalan.

Masalah model

Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme
mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan
cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik
melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam
kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi
semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan
multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?

Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama,
model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa
memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.
Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini
dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya
sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian
karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan
darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri
nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini,
keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara
diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata
mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam
ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai
konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada
gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Multikulturalisme

Buku yang disunting Hikmat Budiman ini perlu diapresiasi tinggi karena lima hal. Pertama, khususnya pada Bab Editorial,
Hikmat Budiman mengungkapkan secara jernih kondisi dilematis multikulturalisme di Indonesia. Saya sepakat dengan
penulis bahwa tidak satu pun dari tiga model dan kebijakan multikulturalisme di atas yang pas untuk kondisi Indonesia.
Muncul kegamangan saat berhadapan dengan pertanyaan ”model apa yang sesuai untuk Indonesia?” Kegamangan yang
sama ketika Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng, dan saya menyunting buku ”Multicultural Education in Indonesia
and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar”, (2004), Jurnal Antropologi UI, sebagai hasil suatu lokakarya tentang
pendidikan multikultural di Asia Tenggara yang dihadiri pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Australia pada tahun itu.
Dengan kata lain, perlu pemikiran lebih lanjut secara mendalam suatu model multikulturalisme seperti apa yang
seyogianya dikembangkan di Tanah Air.

Kedua, buku ini mengangkat dan membicarakan isu baru dalam wacana multikulturalisme di Indonesia secara
komprehensif, yakni isu minoritas, khususnya hak-hak minoritas, yang diperhadapkan dengan isu mayoritas sebagai
konsekuensi kalau berbicara dalam wilayah konsep ini. Yang menarik dan penting disimak adalah analisis historis yang
merekam peralihan dari kebijakan politik sentralistis ke desentralistis, persoalan-persoalan yang muncul di masa lampau
ketika sistem otoritarian itu bekerja, dan agenda persoalan kini yang dihadapi sistem demokrasi yang baru dan gagasan
multikulturalisme yang melekat pada sistem demokrasi tersebut.

Ketiga, buku ini membicarakan multikulturalime dari bawah ke atas, yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat
minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, oleh M Uzair Fauzan;
pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat, oleh Heru Prasetia; masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan,
oleh Riza Bachtiar; masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah, oleh Ignatius Yuli Sudaryanto; dan
masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan oleh Samsurijal Adhan. Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah
ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari
perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk
menjelaskan realitas di lapangan.

Keempat, meski dengan rendah hati editor mengemukakan bahwa sebagian dari penulis adalah masih peneliti yunior,
saya justru menemukan tulisan- tulisan hasil penelitian ini seharusnya ditampilkan para penulis-peneliti senior. Isu, tema,
dan analisis setiap tulisan menggambarkan penguasaan materi dan pendekatan yang baik sehingga secara keseluruhan
buku ini penting dan bermutu untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai minoritas dan multikulturalisme itu
baik dari segi konsep maupun model kebijakan politik kebudayaan.

Kelima, karena secara khusus menyoroti hak-hak minoritas, maka sangat relevan bahwa buku ini memasukkan dua
tulisan penting, yakni tentang agama dan kebudayaan, isu minoritas dan multikulturalisme di Indonesia (Mochammad
Nurkhoirun) serta hak-hak kelompok minoritas dalam norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia (A
Patra M.Zen). Dengan dua tulisan ini, buku ini membebaskan dirinya dari isolasi konsepsi lokal dan nasional karena isu
multikulturalisme dan minoritas adalah juga isu global.

Saya sependapat dengan Hikmat Budiman bahwa tidak banyak karya yang terbit dengan pembahasan yang komprehensif
mengenai multikulturalisme untuk konteks Indonesia. Apalagi kalau multikulturalisme tersebut dikaitkan dengan isu-isu
lain yang melekat seperti minoritas, khususnya hak-hak minoritas. Maka, buku ini sangat penting bagi kita yang menaruh
minat pada multikulturalisme dan minoritas khususnya, integrasi bangsa umumnya.

Achmad Fedyani Saifuddin Pengajar pada Departemen Antropologi FISIP UI
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm


View the original article here

0 Response to "Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia"