Latest Updates

Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia

( 4 Votes )

Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini seolah smash bola voli dari umpan tarik tak terduga.
Adalah dosen senior antropologi Amri Marzali yang melontarkannya. Tampil sebagai keynote speaker dalam Ć¢€?4th
International Symposium of Jurnal Antropologi IndonesiaĆ¢€? di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri merasa
gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang menerpa disiplin antropologi, khususnya di Indonesia.

Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama, berkaitan dengan konsep utilitas dalam ilmu ekonomi atau
kurang lebih asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan keadaan bahwa saat ini antropologi
berkembang dalam masyarakat yang berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan kekuatan explanatory, sampai
seberapa jauh antropologi dapat menjelaskan masalah-masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga,
berhubungan dengan moral significance yang menyangkut cara dan tujuan penggunaan antropologi. Tentu saja ini
berhubungan dengan etika keilmuan, yang menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan keilmuan dilakukan, untuk
kejahatan kemanusiaan atau kemaslahatan.

Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis relevansi seperti yang telah diungkapkan. Pertama,
kenyataan di lapangan menunjukkan, belakangan kajian-kajian yang menggunakan antropologi sebagai alat analisa
semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya buku-buku kajian keislaman di Indonesia yang ditulis baik oleh
sarjana Barat ataupun Timur, termasuk Indonesia. Beberapa proyek departemen, seperti Depdiknas, sebagian
penelitiannya menggunakan pendekatan antropologi untuk memperoleh penjelasan terhadap beberapa masalah
pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM juga menggunakan jasa ilmu ini dalam riset-riset yang mereka lakukan.

Sayangnya, pada saat yang sama, secara institusional dan akademik, antropologi tidak menjadi jurusan atau program
studi yang marketable. Banyak perguruan tinggi negeri yang tersebar di seluruh Indonesia tapi tidak punya jurusan
antropologi. Apalagi untuk swasta, penulis belum mendengar ada yang berani membuka jurusan antropologi. Ini
memperlihatkan adanya kekhawatiran, membuka jurusan ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa karena tidak
ada peminatnya. Bandingkan dengan jurusan akuntansi, manajemen, psikologi, atau yang sedang menjadi tren sekarang
ilmu komunikasi.

Alasan yang mudah diduga mengapa hanya sedikit mahasiswa yang memilih jurusan antropologi adalah karena lulusan
jurusan ini tidak mudah dalam memperoleh pekerjaan. Faktor prospek masa depan adalah pertimbangan yang sangat
wajar dan realistis. Banyak mahasiswa antropologi yang penulis jumpai mengaku memilih jurusan antropologi sebagai
pilihan kedua atau ketiga ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Artinya, selain dianggap tak terlalu menjanjikan di
satu sisi, juga bahwa antropologi belum bisa mempromosikan dirinya sendiri sebagai pilihan favorit.

Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang lebih berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini
sebagai ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya penelitian lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain
berorientasi keilmuan, antropologi juga mengembangkan diri dengan berorientasi antropolog sebagai profesi. Istilah
seperti antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa yang lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara
lazim berkonotasi pada kepakaran atau keahlian.

Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti. Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain
berorientasi keilmuan dengan melahirkan para sarjana psikologi, juga mencetak profesi psikolog. Oleh karena itu, bukan
sesuatu yang mengada-ada bagi antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya.

Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan. Yang dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya
masyarakat akan melihat antropologi sebagai pilihan yang menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri
Marzali agar antropologi tidak mengenyampingkan applied anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi
mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.

Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga mempunyai pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang telanjur
melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian
antropologi kini telah sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit,
hal ini merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan dengan antropologi terapan
yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak
globalisasi.

Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah kelu Amri Marzali, salah satu mursyid antropologi di
Indonesia saat ini, yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa memberi kontribusi lebih besar
kepada bangsa ini.

Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi Antropologi pada Pascasarjana UGM

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/humaniora/1937647.htm


View the original article here

0 Response to "Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia"