Latest Updates

Mobil dan Nasionalisme

( 26 Votes )

Hingga detik ini, SUV Kiat Esemka masih saja menjadi perbincangan. Ia merupakan produk anak muda SMK yang luar biasa kreatif. Sejumlah pihak juga memberikan apresiasi terhadap tindakan Wali Kota Jokowi yang menjadikan mobil bercat hitam itu sebagai tunggangan dinas.

Fenomena sejarah mobil di Indonesia memang lekat dengan kekuasaan. Sebut saja, mobil Timor yang dulu lekat dengan keluarga Cendana. Solo tempo doeloe juga pernah menyimpan cerita mobil dan berkaitan erat dengan Paku Buwono X (1893-1939), raja yang baru saja mendapat gelar pahlawan nasional.

Hasil pencatatan De Ingeniur, seperti yang dikutip Rudolf Mrazek (2006), di kurun 1939 di Hindia Belanda terhitung ada 51.615 mobil. Tentu saja sebagian besar kendaraan roda empat di tanah jajahan itu dimiliki toewan-toewan kulit putih; dan masyarakat bumiputera lebih cenderung berada di belakang kemudi alias jadi sopir saja.

Dalam hal kebijakan politik serta keamanan, boleh saja ”bapa” tuan residen Surakarta tersenyum tanda kemenangan karena posisinya satu tingkat di atas Paku Buwono X. Akan tetapi, kalau bicara soal kepemilikan mobil, pembesar Belanda itu secara jantan mengakui kekalahannya. Raja yang dijuluki ”Kaisar Jawa” itu adalah orang pertama yang punya mobil di kota yang memperoleh sebutan ”surganya Hindia Belanda” ini dan peringkat kedua di seluruh Nusantara setelah John C Potter, Konsul Swiss di Batavia periode 1893.

Kereta setan

Paku Buwono X memilih bermain di wilayah simbol. Sejarah menulis, pabrik mobil pertama kali didirikan oleh Karl Benz dan Gotlieb pada 1885. Dua tahun sebelum Amerika mampu menciptakan mobil buatan sendiri, tepatnya 1896, Sunan pada 1894 atau persis setahun pasca-penobatannya ternyata sudah membeli mobil dengan merogoh koceknya sendiri. Bentuk mobil ”Benz-auto” ini mirip andong dan kala itu sukses membuat masyarakat didera rasa heran. Lantas mereka menyebutnya ”kereta setan”, jalaran iso mlaku tanpo ditarik jaran (karena bisa berjalan tanpa ditarik kuda), seperti kereta-kereta yang lazim dipakai mengangkut bangsawan dan orang Eropa untuk bepergian saat itu.

Permulaan abad XX, di Solo merebak virus yang bernama ”kemajoean”. Seperti halnya virus modernisasi dewasa ini, penduduk kelas menengah pada masa silam memaknainya dengan bermacam-macam tindakan. Misalnya, aksi priayi dan Tionghoa memangkas rambutnya menjadi pendek, mengenakan pakaian ala Barat, memberantas buta aksara, menghapus laku ndodok oleh Gusti Mangkunegara, dan memakai mobil demi mempercepat perjalanan keluar (tedhak) oleh Paku Buwono X. Dengan mobil, Susuhunan berharap bisa mengejar dan barangkali bahkan melewati kemajuan itu sendiri.

Sebuah foto hitam putih dalam buku John Pemberton (2003) dengan terang memperlihatkan raja terbesar di istana Kasunanan ini tampak begitu gembira sewaktu melakukan kunjungan ke desa-desa di Jawa Tengah dengan naik mobil pribadi. Apalagi di sebelahnya bercokol beberapa pembesar Belanda yang turut mengawasi kegiatan Sunan. Tindakannya itu juga makin mengobarkan semangat nasionalisme orang pribumi serta menguatkan tali hubungan dan kepatuhan pejabat daerah terhadap raja.

Sebatas impian

Masih dalam rangka lawatan politik, Serat Kembang Wijaya Kusuma mendokumentasikan kisah perjalanan Paku Buwono X bersama permaisurinya naik mobil ke Batavia. Suatu saat, pengawalnya mengira mobil yang ditumpangi Sunan menabrak trem listrik. Namun, berkat kepiawaian sopirnya, Sunan selamat.

Sekembalinya ke keraton, sopir tadi naik pangkat menjadi mantri dan diberi nama Atmomaruto oleh Paku Buwono X. Kata ”atmo” berarti anak dan ”maruto” artinya angin. Pemberian nama baru ini bukan tanpa maksud. Nama itu dianugerahkan atas dasar kebolehannya menjalankan mobil yang bisa melaju seperti anak angin.

Meski kisah historis ini telah lewat satu abad, kendaraan roda empat hingga kini masih saja menjadi simbol ekonomi yang mewah. Masyarakat level bawah tentu sulit ikut memesan SUV Kiat Esemka. Mereka hanya bisa mendukung serta berharap pejabat negeri dan golongan berduit memanfaatkan karya anak bangsa. Lebih jauh lagi, mengapresiasi dengan cara memakai produk lokal ialah cermin dari sikap nasionalisme. Mengapa tidak didukung?

HERI PRIYATMOKO Mahasiswa Pascasarjana Sejarah FIB, UGM

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/03/27/02325061/mobil.dan.nasionalisme


View the original article here

0 Response to "Mobil dan Nasionalisme"