Rasanya setiap orang tahu bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) identik dengan birokrasi yang berbelit-belit, lamban dalam menyelesaikan pekerjaan, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, sigap mencari amplop dan sabetan, datang ke kantor paling akhir tapi pulang paling awal, dan sering keluyuran saat jam kerja.
Benarkah PNS Profesi yang Aman?
Ada tulisan menarik dari Jay Rosengard tentang kebijakan fiskal, anggaran, dan krisis keuangan di Asia. Kita tahu bahwa pengelolaan dana pensiun di Indonesia dikuasai oleh ASABRI (untuk kalangan militer dan kepolisian), TASPEN (untuk PNS), dan Jamsostek (untuk swasta dan BUMN). Berdasar data World Bank 2003, ketiga institusi tersebut punya aset sekitar Rp 36 triliun per 2002.
Data Asian Development Bank menunjukkan bahwa TASPEN mengalami defisit cashflow Rp 13,5 triliun pada tahun 2000. Berdasar sumber yang lain, kekurangan (shortfall) investasi TASPEN per 2003 sudah menembus angka Rp 300 triliun. Tentu saja defisit TASPEN akan makin membengkak dan ongkosnya kian mahal karena pemerintahan sekarang begitu jor-joran menerima pegawai baru. Akibatnya, bukan tidak mungkin akan ada pensiunan yang tak kebagian jatahnya. Tapi mana ada presiden yang mau menanggung risiko didemo ribuan (jutaan) pensiunan PNS? Jadi langkah yang lebih realistis adalah membebankan shortfall TASPEN kepada negara. Ada isu bahwa per 2009, akan ada alokasi APBN yang dibelokkan untuk membayar para pensiunan. Kalau pemerintah masih kekurangan uang, bisa saja surat utang baru diterbitkan. Kalau sudah begini, apakah profesi sebagai PNS masih merupakan profesi yang aman dan terjamin? Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Pendidikan Nasional (selain guru) jumlahnya lebih dari 200 ribu orang? Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Agama jumlahnnya sekitar 180 ribu orang? Pemda DKI saja mempekerjakan lebih dari 90 ribu orang pegawai—-sama dengan jumlah karyawan Microsoft di seluruh dunia. Apa betul kita membutuhkan birokrat sebanyak itu? Bandingkan dengan instansi lain. Hanya dengan 52 ribu orang karyawan se-Indonesia, PLN bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24 jam setiap hari. Hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani PT Pos Indonesia. Bandingkan dengan karyawan PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di seantero Indonesia. Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175 ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta jiwa. Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, nyatanya data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sekolah di pedalaman Kalimantan atau Papua. Dengan pegawai Depag sebanyak itu, penyelesaian kasus sengketa aliran sesat membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan pegawai Depag sebanyak itu, faktanya ongkos naik haji juga tak menjadi lebih murah. Beberapa waktu lalu sejumlah calon jemaah haji melakukan demo karena kuotanya dicabut. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus catering jemaah haji beberapa waktu lalu yang sangat memalukan. Jumlah angkatan kerja di Indonesia sekitar 95 juta orang dimana 3,7 juta orang merupakan PNS. Terlihat bahwa PNS sebetulnya minoritas dengan ongkos sangat mahal dibanding angkatan kerja non-pemerintah. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh rakyat tak hanya lewat belanja APBN yang besar, tetapi juga biaya birokrasi, biaya siluman, dan biaya lain yang menyebabkan menurunnya output ekonomi secara agregat.Rakyat Membayar Birokrat Terlalu Mahal
Oleh karena itu, mengurangi jumlah birokrat adalah langkah yang mendesak untuk dilakukan. Cara yang bisa ditempuh adalah membatasi input pegawai baru dengan sangat ketat karena penurunan secara organik membutuhkan waktu yang sangat lama. Sistem kontrak bisa dipilih karena PNS akan menjadi terpacu mengejar target dan meningkatkan kinerja—-kalau gagal, bisa diberhentikan. Sistem yang ada selama ini cenderung melumpuhkan kreativitas dan kinerja—-toh, ngebut atau lelet gaji dan tunjangan tetap dibayarkan.
Sumber Berita
0 Response to "PNS: Sumber Masalah Negeri Ini?"
Posting Komentar